Ads Top

Kelompok Penerbang Roket: "Kami Mau Menjadi Penerus Iwan Fals dan Slank"

Layaknya roket yang mengudara, John Paul Patton alias Coki, Rey Marshall, dan Viki Vikranta kini tengah menjadi perhatian banyak kalangan. Lewat identitas kolektif Kelompok Penerbang Roket, trio padat energi ini beberapa waktu lalu telah meluncurkan album perdana mereka dengan tajuk Teriakan Bocah.

Mereka memainkan musik rock dengan pendekatan era lampau, tepatnya dekade "70-an. Jika apa yang muncul di benak adalah satu lagi band yang berupaya terlalu keras untuk menjadi Led Zeppelin dan lalu gagal secara memalukan, maka Anda keliru berat. Kelompok Penerbang Roket justru mengambil inspirasi dari negeri sendiri, mengusung keberingasan rock—tak jarang dengan akselerasi maksimum—yang berutang kepada grup musik Indonesia antik macam AKA, Duo Kribo, hingga Panbers.
Sebagai vokalis sekaligus bassist, Coki berteriak lantang sambil konstan mengalirkan dentuman bass penuh irama, sementara gitaris Rey kerap kali melontarkan suara-suara padat racun candu, dan drummer Viki mendaratkan pukulan demi pukulan ke drum dengan erat serta penuh tenaga.



Beberapa rintangan sempat menghalangi laju Kelompok Penerbang Roket, namun bukan berarti propelan mereka terkikis. Faktanya, mereka berjanji akan lebih gawat lagi. Tak tanggung-tanggung, rilisan Kelompok Penerbang Roket berikutnya pun sudah direncanakan: album mini dengan konsep space rock.
Rolling Stone berkesempatan mewawancarai trio rock dalam negeri paling panas saat ini pada pertengahan Juni lalu. Sebuah percakapan dengan rentang luas yang berbicara soal perkenalan dengan musik rock Indonesia lama, pengalaman tampil dalam keadaan terlalu mabuk, berurusan dengan pihak berwenang, hingga momen nyaris bubar.
Bagaimana rasanya menjadi salah satu band rock Indonesia yang paling dibicarakan saat ini?
Coki: Memang iya ya? Gue nggak terasa sih. Elo pada terasa nggak?
Viki: Nggak sih, biasa saja [tertawa].
Coki: Mungkin ada perasaan-perasaan ingin dibicarakan, tapi gue sendiri nggak tahu KPR (Kelompok Penerbang Roket) lagi dibicarakan atau nggak. Tapi kalau ternyata memang sedang dibicarakan, gue sangat bersyukur.
Viki: Mungkin karena Didit Saad, produser untuk album Teriakan Bocah, juga ya. Dia lumayan koar-koar sih tentang album ini.
Rey: Belum terasa kali ya?
Coki: Sejauh ini, yang paling terasa sih kalau ketemu teman dan mereka bilang mau beli CD. Ada juga yang, "Wueee, KPR nih." Tapi gue juga nggak tahu tuh maksudnya apa [tertawa].
Atau kalian justru tipe band yang lebih memilih untuk berstatus cultdibanding populer tiada tara?
Rey: Kami nggak memilih sih. Seadanya saja. Kalau orang-orang mendengar, tanggapan mereka ternyata positif, dan jadi dibicarakan, ya bagus, syukur. Kalau nggak, ya sudah nggak apa-apa juga.
Coki: Karena kalau misalnya kami membuat sesuatu yang mungkin agak radikal, nggak banyak yang dengar, ya sudah; berarti memang seperti itu impact-nya. Kalau bicara konsep, visi, misi sih kami punya: jadi band rock besar. Keinginan untuk mau diperhatikan, mau didengar pasti ada. Kami band caper kok [tertawa].


Bagaimana prosesnya kalian bisa bertemu satu sama lain?
Rey: Manajer kami, Rizma Arizky, yang mengenalkan. Awalnya gue dikenalkan ke Viky, lalu berlanjut ke nge-jam bareng; berdua doang, gitar sama drum. Masih belum terpikir tuh musiknya bakal seperti apa, tapi memang terasa kurang kalau tanpa vokal. Gue nggak mungkin nyanyi, Viki juga nggak mungkin.
Viki: Nah setelah itu kami dikenalkan ke Coki. Sebenarnya gue sudah kenal sama dia dari sekitar tahun 2009 atau 2010. Tapi kenal-kenal begitu doang, nggak dekat.
Coki: Gue nggak pernah terbayang bakal satu band dengan Viki, jarang ngobrol juga. Malah awalnya gue kira Viki tuh main gitar [tertawa].
Rey: Alhasil nge-jam bertiga lah. Coki gabung untuk main bass dan nyanyi.
Coki: Kalau nggak salah, gue mulai coba-coba main sama mereka akhir tahun 2011. Rizma bilang ke gue, "Coba saja, Cok. Kumpul bertiga di dalam studio, nge-jam bareng." Rizma melihat kalau tiga individu ini memiliki satu ketertarikan yang sama, yaitu musik rock. Gue, Rey, dan Viki sama-sama mendengarkan rock. Walau sebetulnya kami menyukai jenis musik rock yang berbeda-beda: Rey lebih ke blues, Jimi Hendrix, Cream; gue mendengarkan rock progresif "70-an; Viki penggemar Pink Floyd dan juga power pop Inggris "60-an seperti The Kinks serta The Who. Tapi sepertinya satu band yang bisa menyambungkan kami bertiga adalah Led Zeppelin. Akhirnya, hampir setiap hari kami masuk studio selama berjam-jam; main musik terus, mabuk terus, having fun terus. Lama-lama kami jadi memahami permainan satu sama lain. Satu sampai dua minggu setelah itu, kami memutuskan untuk bikin band.
Tapi sebelum keluar sebagai band secara mandiri, kalian lebih dulu menjadi band pengiring untuk penyanyi dan pencipta lagu Sapphira Singgih. Apakah langkah tersebut memang dirasa perlu untuk memulai karier Kelompok Penerbang Roket?
Rey: Kami manggung dengan Sapphira sambil mengumpulkan jam terbang dan juga menyiapkan materi-materi KPR. Sapphira kan sudah punya materi sendiri. Jadi sambil manggung dengan Sapphira, kami bertiga juga terus bikin lagu. Sampai akhirnya Sapphira menghilang, kami maju bertiga.
Jadi kalian sudah tidak lagi mengiringi Sapphira karena dia sempat menghilang? Kalau tidak begitu, kalian berkemungkinan untuk terus menjadi band pengiring?
Coki: Sebenarnya memang Sapphira punya materi sendiri dan kami punya materi sendiri. Lebih kurang seperti Rod Stewart dan The Faces. Vokalis Steve Marriott keluar dari The Small Faces, lalu Rod Stewart masuk untuk memakai bandnya dan kemudian mengganti nama band menjadi The Faces.


Bila didengar dari aransemen lagu dan rekaman album kalian, ada rasa rock Indonesia lama dari musik Kelompok Penerbang Roket. Sejak awal pembentukan band, kalian memang sudah menetapkan konsep musik yang seperti ini, yang mengacu kepada rock Indonesia era lampau?
Viki: Iya, kami memang mencari yang beda. Kalau sekadar band rock, sudah ada banyak banget. Kami merasa harus membuat sesuatu yang baru, yang orang-orang mungkin sudah lupa cara mainnya. Kebetulan kami juga penggemar Duo Kribo. Jadi konsep KPR memang balik ke sana. Lagipula sekarang belum ada lagi yang memainkan musik seperti itu.
Coki: Jadi KPR itu band rock Indonesia 2010-an dengan esensi "70-an.
Awalnya Duo Kribo yang jadi acuan? Apalagi kabarnya nama Kelompok Penerbang Roket sedikit banyak terinspirasi dari lagu "Mencarter Roket" dari Duo Kribo.
Coki: Bisa dibilang begitu, tapi gue pribadi sih suka banget AKA. Gue suka heavy sound-nya AKA.
Tapi sebelum Kelompok Penerbang Roket terbentuk, kalian masing-masing memang sudah mendengarkan musik rock Indonesia lama?
Viki: Iya, sudah.
Bisa ceritakan pertemuan kalian dengan musik rock Indonesia lama?
Viki: Gue adalah tipe anak rumahan yang kerjanya nongkrong di depan YouTube terus, jadi cari dan ketemunya lewat situ.
Rey: Kalau gue memang punya teman tukar-tukar lagu. Semacam, "Elo sudah dengar ini belum? Coba deh." Dia yang pertama kali kasih gue band-band rock Indonesia lama. Pas gue dengar, ternyata keren banget. Gue jelajahi lebih lanjut deh area-area itu.
Coki: Gue nggak jauh beda dengan kasusnya Viki sih, gue suka banget digging dari YouTube. Apa saja ada di sana; video ini related dengan video apa. Misalnya ketemu video Clover Leaf, band lama Achmad Albar waktu dia masih di Belanda, yang kemudian nyambung ke band rock Indonesia lama. Itu membuat gue sadar kalau di saat musik rock lagi besar banget pada "70-an, impact-nya terasa ke seluruh penjuru dunia. Jadi setiap negara punya band-band semacam itu, termasuk Indonesia. Nggak lepas juga dari perilisan album kompilasi Those Shocking Shaking Days, itu punya pengaruh buat kami dalam mengetahui lebih banyak lagi band rock Indonesia lama. Tapi yang paling nyantol memang AKA, Panbers.
Sebelum Kelompok Penerbang Roket, kalian masing-masing sudah nge-band?
Viki: Sebelum KPR, gue lebih dulu jadi musisi session antara lain untuk Lala Karmela, Aditya, Andre Hehanusa, Tompi; lumayan banyak, melacur ke mana-mana [tertawa]. Tapi akhirnya gue memutuskan, "Gue harus nge-band." Capek jadi session, begitu doang, mengiringi orang terus. Bukan passion gue untuk ke sana. Enakan nge-band sih, gue jadi artisnya.
Rey: Dulu gue sempat membentuk band bernama Speakeasy, tapi kemudian Rizma menyadarkan gue. Dia bilang, "Elo kurang keluar kalau sama band ini." Makanya gue diajak ketemu Viki. Ternyata benar, gue merasa sangat lepas ketika bermain dengan KPR. Gue waktu itu sampai berpikir, "Ini baru band yang gue banget."
Coki: Gue dulu, sudah lama banget, juga sempat ada band. Namanya The Ingredients, manggung di pensi-pensi. Bahkan tahun 2008 sudah sampai bikin album segala, tapi gue memutuskan untuk nggak merilisnya karena masalah internal band. Personel lainnya sibuk kerja, sedangkan gue mau manggung setiap hari. Akhirnya gue cabut dan sempat iseng rekam-rekam musik sendirian, sampai akhirnya ketemu dua anak ini.
Sejak kapan pengerjaan Teriakan Bocah dilakukan sampai akhirnya terkumpul delapan lagu yang tercantum dalam album?
Rey: Tahun 2012, kami sudah bikin tujuh lagu di studio rumahnya Viki. Lalu pada satu sesi latihan, Rizma mengajak Didit Saad untuk melihat kami. Dia masuk, dengar dua lagu, lalu keluar. Seusai latihan, kami ngobrol-ngobrol dan Didit Saad bilang: "Besok langsung rekaman saja di rumah gue." Ketemu deh jalannya.
Berarti rekaman sudah selesai lumayan lama ya?
Rey: Tahun 2012 ke 2013 lah. Tapi mixing dan mastering-nya lama, baru kelar 2014.
Banyak keinginan?
Viki: Kami mencari esensi suara rekaman yang pas banget. Mungkin ada sekitar tiga kali perubahan besar.
Esensi suara rekaman yang pas itu artinya berkarakter antik?
Coki: Iya. Kami suka dengan suara-suara lo-fi seperti dapat didengar pada rekaman-rekaman lama, tapi bukan berarti kami mau membuat album ini terdengar busuk banget. Karena pada dasarnya, KPR adalah band sekarang, bukan band zaman dulu. Ironis saja kalau kami merilis album dengan soundyang obviously busuk.
Viki: Jadi benar-benar dicari pasnya. Kalau menuruti keinginan idealisme kami, nanti orang-orang nggak suka. Kalau mengikuti kesukaan orang-orang, nanti kami jadi merasa: "Ah, nggak gue banget." Lama tuh di situ, kami brainstorm terus sampai akhirnya ketemu yang dirasa pas.
Coki: Gue mau orang-orang yang dengar album ini berkomentar: "Ini sound-nya seperti jadul, tapi di saat yang bersamaan terdengar modern juga."
Kelompok Penerbang Roket memiliki keragaman dalam berlirik. Ada amarah dalam "Anjing Jalanan", kegeraman di "Di Mana Merdeka", sampai eksistensialisme pada "Tanda Tanya." Bagaimana kalian menyaring kejadian-kejadian di sekitar untuk kemudian dijadikan inspirasi lirik?
Coki: Secara lirik, KPR nggak memiliki konsep tertentu. Lirik tercipta begitu adanya. "Tanda Tanya" adalah cerita tentang seseorang yang sedang berada di dimensi lain. Ada juga "Beringin Tua" yang bisa dibilang kisah dongeng. Lalu "Anjing Jalanan" bisa diartikan secara luas, dari orang yang perilakunya anjing; polisi, preman, Kopaja, anak-anak yang doyan trek-trekan, sampai anjing secara literal. Intinya sih sesuatu dan pengalaman di jalanan Jakarta. Kemudian "Di Mana Merdeka" berbicara soal tren budaya yang masuk ke Indonesia tapi kami nggak terlalu menyaringnya. Opini gue dan anak-anak sih. Indonesia itu besar dan kaya, bukan satu pulau kecil. Gue berharap ada yang bisa mencerna lirik tersebut dan kemudian termotivasi untuk melakukan hal-hal keren. Seperti Jepang yang banyak mengadopsi sub-kultur dari Barat, tapi mereka tetap bisa terlihat sangat Jepang. Gue ingin Indonesia bisa begitu.


Sekitar November 2014, kalian mengumumkan bahwa penampilan di ajang Pop Up! adalah konser terakhir Kelompok Penerbang Roket. Namun ternyata kemudian kalian muncul lagi, dan bahkan merilis album. Apa yang terjadi ketika itu?
Rey: Oktober 2014, gue masuk rehab di Lido, Sukabumi. Pada waktu itu, gue harus segera masuk rehab tanpa sempat ngomong apa-apa ke Coki dan Viki. Akhirnya mereka tahu sih, tapi terlalu mendadak.
Coki: Mendadak banget. Gue ditelepon Rizma sehari sebelum tampil di SoundsFair. Gitaris penggantinya, Babet dari Young De Brock dan The Dead Catfish, baru mengulik lagu jam tiga sampai enam pagi. Lalu latihan jam sebelas siang selama dua jam. Kemudian lanjut sound check; setelah kelar, jeda sekitar lima belas menit, langsung naik panggung. Gila sih, ngebut.
Viki: Gue sempat nangis tuh pas dikasih tahu Rizma. Panik banget. Gimana caranya mencari gitaris pengganti H-1 tampil? Sebelum dapat Babet, gue sempat mohon pertolongan dari musisi-musisi session di sebuah studio di Bintaro yang kebetulan merupakan tempat mixing dan mastering album Teriakan Bocah.
Coki: Gue ingat banget kalau gue sempat terdiam dulu setelah Rizma bilang lewat telepon, "Rey ditangkap lagi, Cok." Tapi berhubung SoundsFair adalah acara besar, gue dan Rizma tetap berusaha fokus untuk bagaimana caranya tampil nggak cemen.
"Ditangkap lagi" berarti sudah yang kesekian kali tertangkap?
Rey: Kedua, tapi jarak antara yang pertama dengan yang kedua nggak jauh.
Karena ganja?
Rey: Iya.
Lucunya, ada lagu berjudul "Target Operasi" dalam album Teriakan Bocah. Lebih dulu penangkapan Rey atau penulisan lirik lagu itu?
Rey: Lirik lagu duluan sih.
Coki: Lucunya, Rey yang nyanyi untuk lagu itu [tertawa]. Semacam life imitates art ya?
Viki: Iya, tapi sebenarnya lirik itu ditulis Bang Anda (Perdana). Dia bikin lagu berdua bareng Didit Saad.
Rey: Sebetulnya lagu itu direncanakan untuk album solo kedua Bang Anda, tapi ternyata dia nggak jadi merilisnya. Pas gue dengar-dengar lagunya dan ketemu dengan "Target Operasi", gue bilang ke Bang Anda: "Bagus juga nih, gue pakai ya." Dia merespons, "Sikat!"
Coki: Tadinya aransemen lagu "Target Operasi" nggak sekeras yang ada dalam album Teriakan Bocah sih, lebih ke rock alternatif "90-an. Tapi riff-nya memang pas buat dijadikan hard rock "70-an; diberingaskan, dibuat kotor, digalakkan.


Tapi memang tidak bisa dipungkiri bahwa ada kesan beringas, berbahaya dari Kelompok Penerbang Roket, baik dari suasana lagu-lagu kalian, aksi panggung, sampai kasus penangkapan personel. Apakah memang ada keinginan untuk dilihat sebagai band dengan citra seperti itu atau sudah otomatis saja?
Viki: Sebetulnya yang bandel cuma gue dan Rey [tertawa]. Konsekuensinya memang begitu. Itu jalan hidup yang sudah gue dan Rey ambil, jadi ya sudahlah bodo amat. Tapi kami nggak pernah berniat untuk harus terlihat bandel atau rusuh.
Rey: Jadi diri sendiri saja sih. Ya sudahlah, gue jadi gue, Coki jadi Coki, Viki jadi Viki.
Coki: Dan karena jadi diri sendiri, hasilnya begitu. Apalagi pada dasarnya kami memang suka aksi-aksi panggung dari band seperti The Who, esensi entertaining mereka luas banget. Orang kalau datang menonton konser, ingin dikejutkan. Hal-hal seperti itu yang terbawa ke kami. Gue kalau manggung jadi nggak mikir, suka-suka mau bagaimana di atas panggung. Akhirnya setiap penampilan KPR jadi nggak bisa ditebak bakal seperti apa. Selama ini memang nggak pernah sama. Bahkan ada satu penampilan yang harus diberhentikan setelah baru tiga lagu, karena memang sudah terlalu rusuh dan mungkin sudah nggak bisa dinikmati. Kejadiannya di Camden Bar, Gandaria, acara Jack Daniel"s.
Mabuk semua?
Viki: [tertawa] Mabuk semua, hancur.
Coki: Kami mainnya sudah terlalu suka-suka. Akhirnya inisiatif sendiri untuk berhenti main, Rizma dari kerumunan penonton juga sudah kasih kode ke kami untuk stop. Waktu itu, muka dia terlihat tegang banget. Tapi gue tetap berusaha agar penampilan kami selesai dengan cara yang nggak kacangan. Akhirnya lagu beres, gue bilang: "Hari ini panggung kami seperti ini. Terima kasih buat yang menonton. Sampai jumpa." Lalu cabut.
Dengan adanya momen seperti itu ketika manggung dalam keadaan mabuk, kalian tetap akan mengulanginya lagi atau ada perasaan kapok?
Viki: Kalau contohnya penampilan di Camden sih, kami kapok. Waktu itu nggak memenuhi syarat sih, hancur, jelek. Benar-benar totally jelek, sampah banget. Setlist nggak kelar, main berantakan, mabuk semua. Setelah itu, kami jadi berpikir: "Wah, besok-besok mabuknya elegan saja ya. Nggak usah yang terlalu bagaimana." Mudah-mudahan sih nggak terulang lagi.
Coki: Setelah itu, gue langsung lebih memikirkan penonton. Sebelumnya kan sangat suka-suka. Tapi waktu di Camden memang sudah kelewat batas.
Walau belum sampai berusia lima tahun, Kelompok Penerbang Roket sudah melalui banyak hal. Muncul asumsi bahwa Kelompok Penerbang Roket adalah band yang self-destructive. Ada kecemasan kalau kalian bisa saja bubar sebelum besar.
Viki: Gue berani jamin kalau KPR bakal lebih gawat lagi. Banyak pelajaran yang sudah kami dapat, terutama Rey. Gue juga sih, karena pas pertama kali Rey ditangkap, gue juga kena [tertawa].
Coki: Gimana gua nggak stres? Dua orang ditangkap, gue harus ngapain? Tapi waktu itu gue lagi sakit sih, kena DBD dan typhus sekaligus. Rizma sampai menyimpan kabar itu dari gue, dikasih tahunya belakangan. Dia takut trombosit gue tambah drop [tertawa].
Viki: Tapi gue senang banget ada Coki yang straight, jadi ada filter buat gue dan Rey.
Rey: Kalau gue pribadi sempat berpikir sudah ditinggal oleh mereka berdua. Karena waktu di rehab, gue nggak bisa berhubungan dengan siapa-siapa. Tapi ternyata pas gue keluar setelah enam bulan di rehab, anak-anak masih menerima gue dengan senang hati. Jadi KPR bakal lebih kuatlah.
Ketika mengumumkan bubar tahun lalu, kondisinya sudah sedekat apa dengan benar-benar bubar?
Viki: Kami punya prinsip bahwa KPR itu kami bertiga. Kalau ada satu yang nggak ada, lebih baik bubar. Tapi gue berpikir, gue yakin Coki dan Rey juga punya pemikiran yang sama: "Gue nggak mau berhenti sampai di sini saja." Mungkin waktu itu bisa dibilang keputusan emosional, karena kami sempat berada di titik desperate.
Padahal ketika itu album Teriakan Bocah sudah selesai dikerjakan?
Viki: Sudah, jadi sempat ada kemungkinan album itu nggak rilis. Sedih banget sih kalau kejadiannya begitu.
Bagaimana momennya ketika Rey tahu kalau masih diterima untuk bermain dengan Kelompok Penerbang Roket?
Rey: Obrolan di chat saja sih. Gue memang banyak ngobrol dengan Viki dan Rizma. Gue sudah curiga didepak dari band, tapi ternyata Rizma bilang: "Ayo kita tempur lagi.""
Coki: Yang bikin jalan terus adalah fakta bahwa kami bertiga punya mimpi yang besar. Gue, Viki, dan Rey adalah orang-orang yang ambisius. Ada banyak target dan cita-cita yang harus dicapai bersama.
Viki: Balik lagi ke prinsip: kalau ada satu dari kami yang keluar, lebih baik nggak usah jalan. Itu yang bikin kami jadi kuat banget. Jangan sampai berhenti. Ada banyak banget yang belum kami capai.
Kalau bisa dijabarkan, apa saja yang ingin dicapai oleh Kelompok Penerbang Roket?
Viki: Kalau dari gue pribadi, gue nggak mau nge-band biasa saja. Dalam artian, gue nggak mau orang-orang sekadar bicara: "Wah, KPR band bagus nih." Gue mau KPR menjadi penerus Iwan Fals dan Slank. Tongkat estafet belum ada yang menyambung. Gue mau tongkat estafet itu dioper ke kami. Gue mau jadi nomor satu di Indonesia, kalau perlu Asia dan lalu seluruh dunia. Kenapa nggak? Kalau nge-band tapi visinya cuma sampai keren saja, nggak usah nge-band lah. Lebih baik kerja normal saja. Kalau nge-band tapi nggak punya perasaan bahwa band elo adalah band paling keren di dunia, percuma sih menurut gue.
Tapi sudah ada yang bilang kalau Superman is Dead lah penerus Slank. Setuju tidak?
Viki: Kalau gue sih nggak. Superman is Dead itu band besar, dan gue adalah anak Bali jadi mereka bisa dibilang senior gue juga. Gue tahu perjalanan mereka. Tapi untuk dibilang penerus Slank sih menurut gue nggak, gue inginnya KPR.


Sumber : Rollingstone.co.id
Kelompok Penerbang Roket: "Kami Mau Menjadi Penerus Iwan Fals dan Slank" Kelompok Penerbang Roket: "Kami Mau Menjadi Penerus Iwan Fals dan Slank" Reviewed by TATA VIDEO INDI on 6:37 PM Rating: 5

No comments